Perbedaan Aturan Sekolah Di Indonesia & Luar Negeri

Perbedaan Aturan Sekolah Di Indonesia & Luar Negeri

Coba liat deh, orang tua jaman sekarang pasti udah rempong kalau mikir pendidikan anak. Anaknya belum genap 3 tahun aja udah ngantri dapat pre-school bagus gara-gara takut kalau dari awal sekolahnya gak bagus, nantinya susah dapat SD, SMP, atau SMA yang bagus. Di Luar Negeri, tidak ada kekhawatiran seperti itu. Bahkan menurut hukum, anak-anak baru boleh mulai bersekolah ketika berumur 7 tahun.

1. Di Luar Negeri, Anak-Anak Baru Boleh Bersekolah Setelah Berusia 7 Tahun

Awal yang lebih telat jika dibandingkan negara-negara lain itu justru berasal dari pertimbangan mendalam terhadap kesiapan mental anak-anak untuk belajar. Mereka juga meyakini keutamaan bermain dalam belajar, berimajinasi, dan menemukan jawaban sendiri. Anak-anak di usia dini justru didorong untuk lebih banyak bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya. Bahkan penilaian tugas tidak diberikan hingga mereka kelas 4 SD. Hingga jenjang SMA pun, permainan interaktif masih mendominasi metode pembelajaran.

Pelajar di Luar Negeri sudah terbiasa menemukan sendiri cara pembelajaran yang paling efektif bagi mereka, jadi nantinya mereka tidak harus merasa terpaksa untuk belajar. Maka dari itu, meskipun mulai telat, tapi pelajar umur 15 di Luar Negeri justru berhasil mengungguli pelajar lain dari seluruh dunia dalam tes internasional Programme for International Student Assessment (PISA). Itu membuktikan faedah dan efektivitas sistem pendidikan di Luar Negeri. Bagus banget kan?

2. Metode Belajar: 45 Menit Belajar, 15 Menit Istirahat

Tahukah ngga bahwa untuk setiap 45 menit siswa di Luar Negeri belajar, mereka berhak mendapatkan istirahat selama 15 menit? Orang-orang Luar Negeri meyakini bahwa kemampuan terbaik siswa untuk menyerap ilmu baru yang diajarkan justru akan datang,  jika mereka memilliki kesempatan mengistirahatkan otak dan membangun fokus baru. Mereka juga jadi lebih produktif di jam-jam belajar karena mengerti bahwa toh sebentar lagi mereka akan dapat kembali bermain.

Di samping meningkatkan kemampuan fokus di atas, memiliki jam istirahat yang lebih panjang di sekolah juga sebenarnya memiliki manfaat kesehatan. Mereka jadi lebih aktif bergerak dan bermain, tidak hanya duduk di kelas. Bagus juga kan jika tidak membiasakan anak-anak dari kecil untuk terlalu banyak duduk.

3. Beberapa Sekolah Luar Negeri Bebas dari Biaya. Sekolah Swasta Pun Diatur Secara Ketat Agar Tetap Terjangkau

Satu lagi faktor yang membuat orang tua di Luar Negeri gak usah pusing-pusing milih sekolah yang bagus untuk anaknya, karena semua sekolah di Luar Negeri itu setara bagusnya. Yang lebih penting lagi, sama gratisnya. Sistem pendidikan di Luar Negeri dibangun atas dasar kesetaraan. Bukan memberi subsidi pada mereka yang membutuhkan, tapi menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua.

Reformasi pendidikan yang dimulai pada tahun 1970-an tersebut merancang sistem kepercayaan yang meniadakan evaluasi atau ranking sekolah sehingga antara sekolah gak perlu merasa berkompetisi. Sekolah swasta pun diatur dengan peraturan ketat untuk tidak membebankan biaya tinggi kepada siswa. Saking bagusnya sekolah-sekolah negeri di sana, hanya terdapat segelintir sekolah swasta yang biasanya juga berdiri karena basis agama.

Tidak berhenti dengan biaya pendidikan gratis, pemerintah Luar Negeri juga menyediakan fasilitas pendukung proses pembelajaran seperti makan siang, biaya kesehatan, dan angkutan sekolah secara cuma-cuma. Memang sih sistem seperti ini mungkin berjalan karena kemapanan perekonomian Luar Negeri. Tapi jika memahami sentralnya peran pendidikan dalam membentuk masa depan bangsa, seharusnya semua negara juga berinvestasi besar untuk pendidikan. Asal gak akhirnya dikorupsi aja sih.

4. Semua Guru Dibiayai Pemerintah Untuk Meraih Gelar Master.

Di samping kesetaraan fasilitas dan sokongan dana yang mengucur dari pemerintah, penopang utama dari kualitas merata yang ditemukan di semua sekolah di Luar Negeri adalah mutu guru-gurunya yang setinggi langit. Guru adalah salah satu pekerjaan paling bergengsi di Luar Negeri. Pendapatan guru di Luar Negeri pun lebih dari 2 kali lipat dari guru di Amerika Serikat.Tidak peduli jenjang SD atau SMA, semua guru di Luar Negeri diwajibkan memegang gelar master yang disubsidi penuh oleh pemerintah dan memiliki tesis yang sudah dipublikasi.

Luar Negeri memahami bahwa guru adalah orang yang paling berpengaruh dalam meningkatkan mutu pendidikan generasi masa depannya. Maka dari itu, Luar Negeri berinvestasi besar-besaran untuk meningkatkan mutu tenaga pengajarnya. Tidak saja kualitas, pemerintah Luar Negeri juga memastikan ada cukup guru untuk pembelajaran intensif yang optimal.

Ada 1 guru untuk 12 siswa di Luar Negeri, rasio yang jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain. Jadi guru bisa memberikan perhatian khusus untuk tiap anak, gak cuma berdiri di depan kelas. 
 
Jika Indonesia ingin semaju Luar Negeri dalam urusan pendidikan, guru-guru kita selayaknya juga harus mendapatkan sokongan sebagus ini. Kalau perhatian kita ke guru kurang, kenapa kita menuntut mereka harus memberikan yang terbaik dalam proses pembelajaran? Tidak adil kan?

5. Guru Dianggap Paling Tahu Bagaimana Cara Mengevaluasi Murid-Muridnya.

Kredibilitas dan mutu tenaga pengajar yang tinggi memungkinkan pemerintah menyerahkan tanggung jawab membentuk kurikulum dan evaluasi pembelajaran langsung kepada mereka. Hanya terdapat garis pedoman nasional longgar yang harus diikuti. Ujian Nasional pun tidak diperlukan. Pemerintah meyakini bahwa guru adalah orang yang paling mengerti kurikulum dan cara penilaian terbaik yang paling sesuai dengan siswa-siswa mereka. 
 
Diversitas siswa seperti keberagaman tingkatan sosial atau latar belakang kultur biasanya jadi tantangan sendiri dalam menyeleraskan mutu pendidikan. Bisa jadi gara-gara fleksibilitas dalam sistem pendidikan Luar Negeri itu, semua diversitas justru bisa difasilitasi. Jadi dengan caranya sendiri-sendiri, siswa-siswa yang berbeda ini bisa mengembangkan potensinya secara maksimal.

6. Siswa SD-SMP di Luar Negeri Cuma Sekolah 4-5 Jam/hari.

Tidak hanya jam istirahat yang lebih panjang, jam sekolah di Luar Negeri juga relatif lebih pendek dibandingkan negara-negara lain. Siswa-siswa SD di Luar Negeri kebanyakan hanya berada di sekolah selama 4-5 jam per hari. Siswa SMP dan SMA pun mengikuti sistem layaknya kuliah. Mereka hanya akan datang pada jadwal pelajaran yang mereka pilih. Mereka tidak datang merasa terpaksa tapi karena pilihan mereka

Pendeknya jam belajar justru mendorong mereka untuk lebih produktif. Biasanya pada awal semester, guru-guru justru menyuruh mereka untuk menentukan target atau aktivitas pembelajaran sendiri. Jadi ketika masuk kelas, mereka tidak sekadar tahu dan siap tapi juga tidak sabar untuk memulai proyeknya sendiri.

7. Gak Ada Sistem Ranking di Sekolah. Luar Negeri Percaya Bahwa Semua Murid Itu Seharusnya Ranking 1

Upaya pemerintah meningkatkan mutu sekolah dan guru secara seragam di Luar Negeri pada akhirnya berujung pada harapan bahwa semua siswa di Luar Negeri dapat jadi pintar. Tanpa terkecuali. Maka dari itu, mereka tidak mempercayai sistem ranking atau kompetisi yang pada akhirnya hanya akan menghasilkan sejumlah siswa pintar dan ‘sejumlah siswa bodoh.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *